Pernah merasakan hal-hal berikut ini?
"ditinggalkan"
"disalahkan"
"diabaikan"
"dikucilkan"
"disakiti"
Kata-kata diatas adalah sekelumit dari emosi jiwa yang menunjukkan sisi sebagai "mental korban". Mental korban adalah kondisi dimana perasaan seseorang merasa menjadi korban dalam hidupnya. Sebenarnya, respon terhadap suatu tindakan itu bisa bersifat netral. Contohnya jika ada orang yang menyepelekan kinerja kita, kita bisa memilih respon dengan menanggapinya secara kalem atau bisa juga langsung emosi kemudian sakit hati atau bisa juga dengan menerima kemudian mengoreksi kinerja kita. Jadi sebenarnya mau seperti apa bentuk respon yang kita berikan itu tergantung diri kita. Ketika respon yang kita tampilkan menunjukkan sikap yang kita perlihatkan. Sikap ini kalau dibiasakan bisa menjadi habit.
Kembali lagi ke topik mental korban tadi, bagaimana caranya agar kita tidak lagi menjadi "mental korban"? Caranya adalah dengan menggeser sedikit sudut pandang sehingga respon yang akan kita berikan dapat dikendalikan. Berusaha untuk tidak menjadi objek dari suatu kejadian, melainkan menjadi subjek yang akan "bertanggungjawab" terhadap suatu hal. Contoh: A orangtuanya broken home. Dia bisa memilih mental korban dengan menyalahkan keadaan, merasa terintimidasi, disudutkan dan butuh kasih sayang. Dia juga bisa memilih untuk bertanggungjawab dengan cara menjadikan dirinya sebagai inspirator menebar kebaikan, membagikan kisah perjuangannya disaat keadaan rumah belum kondusif. Belajar dari contoh tersebut, kita sangat nisa menentukan respon apa yang akan kita ambil kedepannya. Semoga respon yang kita ambil adalah sisi yang bertanggungjawab bagaimanapun bentuk keadaannya. Selamat berjuang!! :)
#30dwcjilid21
#Day14
@pejuang30dwc
Komentar
Posting Komentar